Minggu, 26 Januari 2014

Sekolah Ukir Jepara Sebagai Tempat Mengukir Masa Depan

mengukir-masa-depan-di-sekolah-ukir-jepara
mengukir-masa-depan-di-sekolah-ukir-jepara
Berita Furniture - Suara tatah yang beradu dengan palu terus bertalu saling bersahutan menciptakan irama. Suasana ini ada di salah satu sudut Desa Sukodono, Kecamatan Tahunan, Jepara, Jawa Tengah. Suara tatah dan palu adalah nyanyian keseharian warga Sukodono yang hampir semua penduduknya bergantung hidup dari kerajinan ukiran kayu.



Suara ayunan palu dan pisau tatah yang menggores kayu bukan ramai terdengar dari barak-barak para pengerajin. Tetapi juga di Sekolah Ukir Forum For Ekonimic Development And Employment Promotion (FEDEP) yang sudah dua tahun membuka kelas-kelas keterampilan ukir kayu.

Tidak perlu seleksi ketat dan birokrasi rumit untuk bisa menjadi siswa non formal ukir di FEDEP ini. Tak heran jika latar belakang pendidikan formal dan usia siswa yang ada bervariasi. Ada yang hanya tamat SD, namun ada juga yang sudah lulus SLTA. Bahkan ada yang lulusan sekolah menengah industri kerajinan (SMIK).

Bukan pengakuan lewat selembar sertifikat yang mereka butuhkan, mengasah diri membuat karya berkualitas menjadi obsesi mereka.

FEDEP bisa diartikan forum pengembangan ekonomi daerah dan penciptaan lapangan kerja. Sekolah ini berdiri untuk menampung anak-anak lulusan sekolah yang tidak bisa meneruskan sekolah. Tapi kami ingin agar nantinya seni ukir Jepara tidak punah, ujar Subandi, guru FEDEP.

Belajar di kelas ukir hanya membutuhkan waktu setahun. Tak heran, menurut Subandi, banyak orang mempertimbangkan sekolah praktis itu untuk membekali diri menyusun masa depan. Pada saat banyak lulusan SLTA dan perguruan tinggi yang masih dipusingkan oleh keterbatasan lapangan pekerjaan, belajar ukir menjadi salah satu solusi. Pemuda dari keluarga tak mampu tentu akan berpikir praktis bagaimana secepatnya mempunyai keahlian dan bisa bekerja.

Usman, siswa sekolah ukir asal Semarang yang sudah belajar di FEDEP selama tujuh bulanw mengaku hanya tamatan SD. Pemuda ini lahir cacat dengan sebelah kaki harus ditopang dengan sebuah kruk. Kondisi fisik dan ekonomi keluarganya yang kurang mampu membuatnya menjatuhkan pilihan pada FEDEP.

Ia memperkirakan nantinya tidak mungkin bisa bekerja di pabrik atau perusahaan. Karena syarat fisik biasanya menjadi yang utama untuk jadi pengawai. Namun suatu hari nanti, dia ingin menjadi orang mandiri dengan menjadi pengusaha meubel. Paling tidak orang akan mengenalnya sebagai ahli ukir.

"Terus terang, saya merasa belum bisa apa-apa. Sebab, di sekolah dulu kebanyakan teori saja. Begitu lulus saya tak punya keahlian, akhirnya saya putuskan ke Jepara dan masuk di sekolah ukir FEDEP ini," tutur Yoyo, siswa lain asal Kalimantan.

Yoyo mengetahui keberadaan sekolah ukir di Jepara dari saudaranya yang tinggal di Semarang. Di daerahnya bukan tidak ada ahli ukir. Namun ukiran Jepara adalah paling terkenal di Indonesia sampai mancanegara. Hasil ukirannya lebih halus di bandingkan dengan produk ukir daerah lain.

Karena memiliki bekal awal yang lumayan dibandingkan kawan-kawannya yang hanya tamat SD atau SMP, Yoyo lebih cepat menyerap ilmu yang diberikan instruktur Subandi. Baru belajar dan tinggal di asrama sekolah ukir FEDEP selama enam bulan saja, dia sudah mendapat order mengukir dari sebuah perusahaan meubel yang ada di sekitar sekolah FEDEP.

Saya sudah satu tahun berada di sini dan sudah lulus. Namun, karena saya menganggap kemampuan mengukir saya belum terlalu matang, saya masih berniat memperdalam ilmu mengukir di sini kepada guru dan penduduk di sini. Suatu saat nanti, saya harus pulang untuk membuka usaha sendiri di daerah kami," ujarnya penuh percaya diri.

Bagi yang ingin mendapatkan keahlian mengukir, selain bisa masuk ke Sekolahan Ukir FEDEP, sebetulnya, bisa saja seseorang langsung magang di perusahaan mebel dan bisa mendapat sekadar uang makan. Namun, belajar di lembaga pendidikan Sekolah Ukir FEDEP, akan lebih terarah. Sebab, selain mendapatkan keahlian ukir, pertukangan kayu, mereka juga mendapatkan pembekalan manajemen usaha.

Siswa tinggal di asrama gratis, bisa sambil berkebun. Untuk konsumsi sehari-hari biasanya membawa bekal bahan makanan dari rumah dan dimasak berkelompok. Karenanya, tak heran bila melihat anak-anak ini lebih mandiri dibandingkan dengan lulusan sekolah lain.

Dalam aktivitas harian, siswa dibimbing instruktur. Siswa yang sebagian besar tinggal di asrama yang menyatu dengan gedung sekolah belajar mengambar dan mengukir. Bahkan manajemen usaha kelompok juga masuk dalam menu pendidikan. Misalnya, ada hasil karya anak yang laku terjual, sebagian masuk kas untuk kegiatan bersama. Untuk bahan praktik berupa kayu, mereka tidak kesulitan. Sebab, sejumlah perusahaan dengan sukarela mengirimkan kayu kepelan (sisa olahan) secara gratis. Dari kayu limbah itulah setelah dibuat berbagai suvenir ukiran bisa memiliki nilai jual tinggi.

Konsep awal pendirian Sekolah Ukir FEDEP, memang disiapkan untuk mandiri, dalam artian tidak tergantung dengan uluran tangan pemerintah. Namun sebaliknya, harus bisa hidup di tengah kawasan sentra meubel ukir. Dengan demikian, mati-hidupnya sekolah banyak ditentukan oleh dukungan masyarakat.

0 komentar:

Posting Komentar